Dan mereformasi pemerintahan agar benar-benar Islami, sehingga dapat memenuhi misinya sebagai pelayan negara, pegawai, dan pekerja untuk kepentingannya. Pemerintahan itu Islam sepanjang anggotanya beragama Islam, menjalankan kewajiban Islam dan tidak terang-terangan durhaka, serta melaksanakan ketentuan Islam dan ajarannya.
Tidak ada salahnya mencari bantuan dari non-Muslim ketika diperlukan dalam posisi selain otoritas publik, dan bentuk atau jenisnya tidak menjadi masalah, asalkan konsisten dengan aturan umum sistem pemerintahan Islam.
Ciri-cirinya antara lain: rasa ketergantungan, kasih sayang terhadap rakyat, keadilan antar umat, pantangan uang rakyat, dan berhemat dengannya.
Tugasnya antara lain: menjaga keamanan, menegakkan hukum, menyebarkan pendidikan, mempersiapkan kekuatan, memelihara kesehatan, memelihara barang-barang umum, mengembangkan kekayaan, menjaga uang, memperkuat moral, dan menyebarkan advokasi.
Haknya – ketika dia menjalankan tugasnya – adalah: kesetiaan dan ketaatan, serta bantuan dalam hidup dan uang.
Jika gagal: nasihat dan bimbingan, kemudian pemindahan dan deportasi, dan tidak ada ketaatan kepada makhluk ciptaan jika ia tidak menaati Sang Pencipta.
Menyempurnakan pemerintahan hingga benar-benar menjadi pemerintahan yang Islami, sehingga mampu menjalankan tugasnya sebagai pelayan umat, pekerja bagi umat, dan pengelola kepentingan umat. Suatu pemerintahan disebut Islam apabila anggotanya adalah umat Islam yang menjalankan kewajiban Islam, tidak terang-terangan melakukan maksiat, dan menjalankan hukum dan ajaran Islam.
Tidak mengapa meminta bantuan kepada non-Muslim dalam keadaan darurat, selama bukan pada posisi kekuasaan umum (wilayah ‘ammah), dan tidak dipandang dari bentuk atau jenis pemerintahannya, selama sesuai dengan prinsip-prinsip umum dalam sistem pemerintahan Islam.
Di antara ciri-cirinya adalah: merasa sebagai pelayan rakyat, berbelas kasih terhadap rakyat, menegakkan keadilan di antara manusia, menjaga diri dari harta umum, dan hidup hemat dalam mengelolanya.
Di antara kewajibannya adalah: menjaga keamanan, menegakkan hukum, menyebarkan pendidikan, mempersiapkan kekuatan, menjaga kesehatan, memperhatikan kepentingan umum, mengembangkan kekayaan, menjaga harta, memperkuat akhlak, dan menyebarkan dakwah.
Dan di antara hak pemerintahan – apabila ia menjalankan kewajibannya – adalah: loyalitas dan ketaatan, serta dukungan dengan jiwa dan harta.
Namun bila lalai: maka diberi nasehat dan bimbingan, kemudian pencopotan dan penggantian. Tidak ada ketaatan kepada makhluk tanpa ketaatan kepada Sang Pencipta.”
Penjelasan:
Mereformasi pemerintahan agar benar-benar Islami
“Memperbaiki pemerintahan hingga benar-benar menjadi pemerintahan Islam…”
Ini adalah fase selanjutnya dari perjalanan dakwah. Tidak berhenti dan puas sampai membebaskan negeri dan tanah air dari belenggu penjajahan, tapi juga memperbaiki pemerintahan. Tujuan utama dari konsep pemerintahan dalam Islam bukan hanya tampilan luar yang Islami, melainkan substansi dan orientasi yang sesuai dengan prinsip-prinsip syariat. Pemerintahan yang Islami bukan berarti harus disebut “Khilafah” atau “Imarah”, tapi ditentukan dari sikapnya terhadap syariat, bagaimana sistemnya, dan seperti apa orientasi pemimpinnya; apakah tunduk kepada hukum Allah atau tidak.
Dengan demikian, ia memenuhi misinya sebagai pelayan negara, pegawainya, dan pekerjanya
“…agar dapat menjalankan tugasnya sebagai abdi masyarakat, pekerja bagi masyarakat, dan pengelola kepentingan masyarakat.”
Penguasa dalam Islam bukanlah penguasa yang mutlak, melainkan khadim al-ummah (hamba rakyat). Kekuasaan adalah suatu kepercayaan, bukan suatu kehormatan untuk disalahgunakan. Pemimpin adalah wakil rakyat dalam menjalankan syariat dan melindungi kepentingannya. Al Khathib Al Baghdadi di Tarikh Bagdad meriwayatkan hadits:
Tuan rakyat adalah pelayan mereka
Pemimpin suatu ras adalah pelayannya
Meskipun rantai hadis ini lemah, namun maknanya shahih. Sejalan dengan hadis Nabi ﷺ:
Bangsa Israel diperintah oleh para nabi.
“Itu adalah Bani Israel, sebelum mereka didisiplin oleh para nabi.” (HR.Muttafaq ‘Alaih)
Imam An Nawawi menjelaskan:
Artinya: Mereka menangani urusan mereka seperti yang dilakukan para pangeran dan gubernur terhadap rakyatnya.
Artinya: mereka (para nabi) mengatur urusannya (Bani Israel) sebagaimana yang dilakukan para pemimpin (umara’) dan penguasa terhadap umatnya. (Al Minhaj Sharh Sahih Muslim, 6/316)
Pemerintahan itu Islam, asal anggotanya beragama Islam, menjalankan kewajiban Islam, dan tidak terang-terangan membangkang.
“Pemerintahan disebut Islam bila anggotanya beragama Islam, menjalankan kewajiban Islam, tidak terang-terangan melakukan maksiat…”
Identitas keislaman dalam kepemimpinan bukan sekedar label, namun harus dilihat dalam ketaatan individu terhadap syariah. Jika pemimpin terang-terangan melakukan maksiat dan kefasikan, maka hal itu mengurangi legitimasi moral mereka sebagai pemimpin dalam Islam. Bahkan hal itulah yang menjadi salah satu sebab mengapa ia dapat diberhentikan dari jabatannya sebagaimana dijelaskan oleh Imam Abul Hasan Al Mawardi:
Yang menyebabkan kondisinya berubah dan mengakibatkan dia dikeluarkan dari Imamah adalah dua hal: yang pertama adalah cederanya keadilannya, dan yang lainnya adalah kekurangan pada tubuhnya.
Adapun luka terhadap keadilannya, yakni maksiat, ada dua jenisnya: salah satunya karena mengejar hawa nafsu.
Yang kedua adalah apa yang terkait dengan kecurigaan. Adapun yang pertama berkaitan dengan perbuatan anggota badan, yaitu perbuatannya yang haram dan perbuatan maksiat di luar kendali syahwat dan ketundukan pada hawa nafsunya. Keamoralan inilah yang menghalangi tegaknya Imamah dan kelangsungannya. Jika terjadi sesuatu pada orang yang imamahnya telah ditetapkan, maka ia meninggalkannya. Jika dia kembali ke pengadilan, dia tidak akan kembali ke Imamah kecuali dengan kontrak baru…
Ada dua hal yang dapat mengubah keadaan diri seorang pemimpin, yang dengan berubahnya kedua hal itu dia mesti mundur dari jabatan kepemimpinannya:
1⃣ Adanya cacat dalam ke- ’adalah-annya (cacat moral).
2⃣ Cacat tubuhnya
Ada pun cacat dalam ‘adalah (moralitas) yaitu kefasikan, ini pun ada dua macam; Pertama, dia mengikuti syahwat (dalam prilaku); Kedua, terkait dengan syubhat (pemikiran).
Bagian pertama (fasik karena syahwat) terkait dengan perbuatan anggota badan, yaitu dia menjalankan berbagai larangan dan kemungkaran, baik karena menuruti hawa syahwat, dan tunduk kepada hawa nafsu. Kefasikan ini membuat seseorang tidak boleh diangkat menjadi imam (pemimpin), dan juga sebagai pemutus kelangsungan imamah (kepemimpinan)-nya.
Jika sifat tersebut terjadi pada seorang pemimpin, maka dia harus mengundurkan diri dari imamah-nya. Jika ia kembali adil (tidak fasik), maka imamah tidak otomatis kembali kepadanya, kecuali dengan pengangkatan baru. ………. (Imam Abul Hasan Al Mawardi, Al Ahkam As Sulthaniyah, Hal. 28. Mawqi’ Al Islam)
Dia menerapkan ketentuan Islam dan ajarannya
“…dan menjalankan hukum dan ajaran Islam.”
Kriteria utama pemerintahan Islam adalah tanfidz al-syari’ah (implementasi syariat), bukan sekadar deklarasi Islam tanpa penerapan. Menjalankan syariah Islam dengan makna dan cakupannya yang luas adalah misi utama yang membedakan pemerintahan Islami dari sekuler.
Tidak ada salahnya mencari bantuan dari non-Muslim bila diperlukan dalam posisi selain perwalian publik
“Tidak mengapa meminta bantuan kepada non-Muslim dalam keadaan darurat, selama bukan pada posisi kekuasaan umum…”
Islam bersikap realistis dalam bernegara. Non-Muslim dapat dipekerjakan dalam bidang teknis atau administratif, selama tidak memegang kendali strategis atas kaum Muslimin. Ini selaras dengan praktik Rasul ﷺ yang kadang bermitra dengan non-Muslim dalam urusan logistik atau informasi. Sebagaimana Abdullah bin Uraikit seorang musyrik yang ikut membantu hijrah Rasulullah ﷺ dan sahabat sebagai penunjuk jalan. (HR. Bukhari). Begitu pula Quzman, seorang musyrik yang ikut andil membela Islam dalam perang Uhud bahkan banyak membunuh musyrikin lainnya. Begitu pula musyrikin Bani Khuza’ah, ikut bersama Rasulullah menghadapi Quraisy di tahun Fathu Makkah. (Imam asy Syaukani, Nailul Authar, jilid. 7, hal. 267)
Bentuk atau jenisnya tidak menjadi masalah asalkan sesuai dengan kaidah umum sistem pemerintahan Islam
“…dan tidak dipandang dari bentuk atau jenis pemerintahannya, selama sesuai dengan prinsip-prinsip umum dalam sistem pemerintahan Islam.”
Perkataan Imam Al Banna ini menunjukkan bahwa Islam tidak mengikat sistem pemerintahan pada bentuk tertentu seperti kerajaan, republik, atau federasi. Yang penting adalah substansi nilai: keadilan, syura, perlindungan terhadap hak, dan penerapan syariat. Ini menunjukkan fleksibilitas fiqih siyasah (politik Islam).
Ciri-cirinya antara lain: rasa ketergantungan, kasih sayang terhadap rakyat, keadilan, kesucian, dan berhemat
“Ciri-ciri pemerintahan Islami: merasa sebagai pelayan rakyat, kasih sayang kepada mereka, adil, amanah terhadap harta publik, dan hemat.”
Inilah karakter dan ciri-ciri seorang pemimpin dalam Islam. Pemimpin tidak bertindak sebagai tuan yang sewenang-wenang, namun sebagai pelayan rakyat. Keadilan dan kepercayaan terhadap pengelolaan kekayaan negara serta kejujuran, menjadi penopang kepercayaan masyarakat. Allah ﷻ mengutuk pemimpin yang boros dan menindas.
Tugasnya antara lain: menjaga keamanan, menegakkan hukum, dan menyebarkan pendidikan…
“Kewajibannya: menjaga keamanan, menegakkan hukum, menyebarkan pendidikan…”
Negara bertanggung jawab atas maqashid syariah (tujuan syariat), yang mencakup penjagaan agama, jiwa, akal, harta, dan keturunan. Semua tugas di atas—keamanan, pendidikan, kesehatan, ekonomi—adalah realisasi dari tanggung jawab negara atas hajat dasar umat manusia; ri’ayah wa hirasatud diin wad dunia (merawat dan menjaga agama dan dunia).
Dia mempunyai hak ketika dia melaksanakan tugasnya: kesetiaan dan ketaatan, serta bantuan dalam hal kehidupan dan uang
“Dan haknya jika telah menjalankan kewajibannya: loyalitas dan ketaatan, serta dukungan dengan jiwa dan harta.”
Islam menyeimbangkan antara hak dan kewajiban. Jika pemerintah menunaikan tanggung jawabnya, maka rakyat wajib menaati, bahkan mendukung dengan harta dan tenaga jika dibutuhkan (misalnya dalam jihad atau pembangunan). Ini bentuk bai‘ah (janji setia) yang direalisasikan secara konkret. Oleh karena itu, setelah Allah Ta’ala memerintahkan kepada para pemimpin untuk menunaikan amanah kepada yang berhak dan berlaku adil dalam menerapkan hukum (QS. An Nisa: 58), Allah Ta’ala juga memerintahkan agar masyarakat mukmin mentaati Allah, Rasul, dan para pemimpin di antara mereka. (QS. An Nisa: 59)
Jika gagal: nasihat dan bimbingan, kemudian pemindahan dan deportasi, dan tidak ada ketaatan kepada makhluk jika ia durhaka kepada Sang Pencipta.
“Kalau lalai: lalu dinasihati, lalu disingkirkan dan disingkirkan. Tidak ada ketaatan pada makhluk dalam kemaksiatan kepada Sang Pencipta.”
Ketaatan kepada makhluk menurut Islam tidak bersifat mutlak, melainkan kondisional. Jika pemimpinnya menyimpang, maka Islam memberikan ruang ishlah (koreksi) melalui nasehat sebagaimana dalam hadis Sahih Muslim, yang salah satu nasehatnya adalah li aimmatil muslimin (bagi pemimpin umat Islam).
Jika tidak berhasil, syariah memperbolehkan penghapusan melalui mekanisme hukum dan tidak melahirkan pencemaran nama baik yang lebih besar dan berkepanjangan, seperti dikatakan Imam Abul Hasan al Mawardi. Prinsip agungnya adalah: jangan menuruti orang-orang yang lalai dan memerintahkan maksiat.
Dan janganlah kamu menaati orang yang hatinya telah Kami lalai dari mengingat Kami, dan yang menuruti hawa nafsunya sendiri, dan yang urusannya sesat.
Dan janganlah kamu menaati orang yang hatinya telah Kami lalai untuk mengingat Kami, dan ikutilah hawa nafsunya dan keadaannya telah melampaui batas. (QS. Al Kahfi : 28)
Nabi ﷺ bersabda:
Tidak ada ketaatan kepada makhluk ciptaan jika ia tidak menaati Sang Pencipta.
Tidak ada ketaatan kepada makhluk tanpa ketaatan kepada Tuhan.
(HR. Ath Thabarani, Al Mu’jam Al Kabir No.381, Al Khathib, 22/10. Imam Al Haitsami berkata: Para perawi Ahmad adalah perawi yang shahih. Majma’ Az Zawaid, 5/407)
Tuhan memberkati. Wa Shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘Ala Aalihi wa Shahbihi wa Sallam
Lanjutan…
Farid Nu’man Hasan
Pos [Syarah Maratib Al ‘Amal] 5. Ishlahul Hukumah (Memperbaiki Pemerintahan) appeared first on Syariah Online Depok.
News
Berita
News Flash
Blog
Technology
Sports
Sport
Football
Tips
Finance
Berita Terkini
Berita Terbaru
Berita Kekinian
News
Berita Terkini
Olahraga
Pasang Internet Myrepublic
Jasa Import China
Jasa Import Door to Door
Download Film
Gaming center adalah sebuah tempat atau fasilitas yang menyediakan berbagai perangkat dan layanan untuk bermain video game, baik di PC, konsol, maupun mesin arcade. Gaming center ini bisa dikunjungi oleh siapa saja yang ingin bermain game secara individu atau bersama teman-teman. Beberapa gaming center juga sering digunakan sebagai lokasi turnamen game atau esports.